Senin, 11 Januari 2010

brand follower

BRAND FOLLOWER/ IMMITATION BRAND
Brand follower dapat didefinisikan sebagai merek pengikut alias merek imitasi (immitation brand). Di Indonesia, merek semacam ini sungguh berjubel, banyak sekali. Jadi, yang harus diingat oleh brand pioneer, keberadaan merek pengikut tersebut tidak bisa diabaikan.
Dalam soal reputasi, nama Blue Bird di kalangan pengguna taksi di Jakarta memang tidak terkalahkan. Banyak pengguna taksi yang lebih memilih untuk menunggu lebih lama ketimbang naik taksi yang lain. Terkadang mereka tidak acuh jika datang taksi merek lain menghampiri. Sudah banyak bukti, naik taksi Blue Bird memang dijamin lebih aman, pelayanannya baik, dan jauh dari praktek “argo kuda”.
Tentu saja perilaku pengguna taksi semacam ini bikin gerah pengusaha taksi yang lain. Kendaraan yang lebih bagus dan pengemudi yang sopan kenyataannya tidak menjamin bahwa taksi mereka dilirik calon penumpang. Merek, sekali lagi berbicara banyak dalam soal ini. Asosiasi merek yang sudah telanjur melekat kuat di mata masyarakat akhirnya membuat para pemain lain, terutama pemain baru menjadi sulit bergerak.
Akhirnya, mau tidak mau, dan diakui atau tidak, mereka harus menjalankan camouflage marketing alias berlomba-lomba mirip market leader. Jadi jangan kaget jika Anda salah naik taksi di Jakarta. Menyangka naik Blue Bird, ternyata bukan. Soalnya, banyak merek taksi yang mengecat beberapa bodi mobilnya persis dengan warna Blue Bird.
President Taxi misalnya, dulu terkenal sebagai merek taksi yang memiliki imej buruk di mata masyarakat Jakarta. Sopir taksi ini terkenal tidak sopan, mengemudi seenaknya, main borongan (tidak pakai argo), banyak yang mempergunakan argo kuda dan kendaraannya banyak yang tua. Walaupun sekarang sudah mengganti namanya menjadi Prestasi dan memiliki armada yang baru-baru, namun toh tidak mampu menghapuskan imej tersebut di masyarakat. Makanya, taksi ini pun kemudian mengganti warna taksinya menjadi biru, warna khas dari Blue Bird. “Yang penting penumpang naik taksinya dulu, baru mereka dapat merasakan bahwa sopir taksi Prestasi sebenarnya banyak yang baik,” kata seorang supir taksi Prestasi ketika MARKETING melakukan aktivitas Mystery Shopping. Hal yang sama baru-baru ini juga dilakukan pada taksi Simpati yang juga mengecat warna armadanya sama dengan taksi dari grup Blue Bird.
Argumen dari seorang sopir taksi ini mungkin benar. Bagaimana konsumen dapat mencoba merek kita, jika mereka sudah keburu berpaling ke merek lain? Padahal, experience adalah prasyarat sebelum konsumen menyukai atau tidak produk kita.
Nah, strategi kamuflase barangkali menjadi jalan pintas yang ampuh untuk bisa mencuri perhatian konsumen. Konsumen yang sedang terburu-buru bisa “terjebak” untuk membeli produk lain. Strategi semacam ini, menurut pengamat pemasaran Bambang Bhakti, pernah dilakukan oleh So Klin ketika pertama kali masuk ke pasar. Mereka memiliki kemasan yang warnanya hampir sama dengan Rinso untuk “mengecoh” konsumen. Setelah mereknya sudah lumayan “berbunyi”, So Klin kemudian mengganti kemasannya.
Bagian dari strategi imitasi
Strategi kamuflase sebenarnya merupakan bagian dari strategi imitasi yang dijalankan oleh follower. Seperti dikatakan oleh Theodore Levitt dalam artikelnya “Innovative Imitation”, strategi imitasi produk barangkali bisa menjadi strategi yang lebih menguntungkan daripada strategi inovasi. Selain membutuhkan biaya yang besar dalam pengembangan produk, strategi inovasi juga membutuhkan kemampuan dalam mengedukasi pasar. Akibatnya, kebanyakan follower memilih untuk menjalankan strategi imitasi. Strategi imitasi bukan sekadar membuat produk baru yang sama, tetapi seringkali juga menjalankan strategi distribusi dan promosi yang sama. Bahkan packaging pun dibuat mirip.
Seperti halnya dunia pemasaran yang selalu dikaitkan dengan perang, kamuflase juga mengambil filosofi dari strategi berperang. Kamuflase adalah strategi menyamarkan diri dengan lingkungan sekitarnya, sehingga tidak akan terlihat oleh lawan. Dalam pemasaran, para pemasar pun mempergunakan istilah yang sama untuk menyamarkan produk mereka dengan lingkungan sekitar, terutama ketika bertarung di pasar modern. Market leader sudah pasti memiliki tumpukan produk yang banyak di rak-rak retailer. Maklum sebagai produk yang laku mereka akan memperoleh kesempatan untuk menempati ruang yang lebih besar ketimbang merek lain. Akibatnya, rak-rak tersebut akan didominasi oleh warna dan desain kemasan dari si market leader.
Nah, di sinilah kesempatan bagi sang follower baru untuk menyamarkan produk mereka. Soalnya, ada beberapa keuntungan yang ingin mereka raih dengan melakukan cara-cara seperti ini. Pertama adalah harapan agar si konsumen salah membeli produk. Keuntungan semacam ini sama dengan keuntungan yang ingin diraih oleh taksi Prestasi. Mereka berharap si konsumen dapat berbalik menyukai produk si follower setelah salah membeli.
Kedua adalah harapan agar si konsumen dapat melakukan perbandingan harga sebelum melakukan pembelian. Keuntungan jenis kedua ini diperoleh ketika si konsumen akhirnya tersadar sebelum melakukan pembelian. Packaging yang mirip bisa menciptakan persepsi bahwa isinya sama dalam soal rasa dan kualitas. Konsumen yang price sensitive kemudian akan memilih merek follower karena umumnya follower menawarkan harga yang lebih rendah.
Alasan ketiga adalah harapan agar si konsumen berpikir bahwa produknya adalah turunan atau masih satu “saudara” dengan merek lain. Umumnya sebuah perusahaan memiliki warna korporat tertentu yang secara konsisten diterapkan pada setiap merek dan merek turunannya. Persepsi si konsumen akan kualitas merek market leader akan “tertular” pula pada merek yang melakukan strategi kamuflase. Mereka pun kemudian membeli merek yang “mengaku” saudara ini.
Juga dijalankan market leader
Jika si konsumen tidak membeli, keuntungan paling mudah didapat adalah pembentukan awareness. Terutama jika produk tersebut mempergunakan merek yang mirip-mirip. Karena, tidak hanya dalam soal packaging, strategi kamuflase pun bisa diterapkan secara sengaja maupun tidak sengaja pada merek. Akari dan Akira, Sony dan Suny, Aqua dan Aquaria, Oreo dan Rodeo adalah contoh bagaimana sebuah merek berhadapan dengan merek lain yang sering membuat konsumen silap mata. Apalagi jika merek tersebut mempergunakan logo dengan bentuk dan huruf yang sama dengan merek lain.
Kebingunan konsumen memang menjadi alasan paling dasar dari strategi kamuflase. Itulah sebabnya kamuflase sering dikatakan sebagai strategi merek yang kurang percaya diri. Biasanya kamuflase dilakukan oleh merek-merek yang tidak punya dana kampanye cukup besar atau bahkan tidak melakukan kampanye sama-sekali. Mereka lebih berharap mereknya bisa menempel pada merek lain di pasaran.
Tapi apakah hanya follower yang melakukan strategi kamuflase? Tidak juga. Market leader pun bisa terpancing melakukan strategi kamuflase. Terutama jika mereka merasa kurang percaya diri menghadapi lawan mereka. Hal seperti ini dilakukan oleh Indomie yang merasa terusik dengan kehadiran Mie Sedaap. Mempergunakan fighting brand-nya, Supermi, Indofood kemudian mengeluarkan Supermi Sedaaap. Tujuannya memang ingin membuat kebingunan konsumen di tingkat outlet. Diharapkan si konsumen akan terkecoh, sekalipun Supermi mempergunakan huruf “a” yang lebih panjang (sedaaap).
Masalahnya, strategi kamuflase sering disalahartikan pemasar dengan penjiplakan dan pembajakan merek atau hak intelektual lainnya. Memang, kamuflase cenderung berada di daerah abu-abu di mana jika si pemasar tidak hati-hati akan terjebak pada penjiplakan dan pembajakan. Merek yang merasa terusik dan merasa dirugikan akan melakukan tuntutan. Sudah banyak kasus merek berakhir di pengadilan, lantaran masalah ini. Sekalipun bukan pembajakan, strategi kamuflase sering berbuah pada hilangnya reputasi si merek yang ditiru.
Sekalipun begitu, apakah benar konsumen bisa terkecoh dengan strategi kamuflase? Beberapa riset yang pernah dilakukan ternyata tidak mendukung peran strategi kamuflase. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Murray Tong, profesor dari Guelph University Canada menunjukkan bahwa memang ada konsumen yang akan terkecoh, tetapi sebagian besar ternyata tidak mengalami hal yang sama. Penelitian yang dilakukan Murray ini berupaya membuktikan adanya “estimasi belebihan” dari survei yang dilakukan pengadilan di Canada, bahwa konsumen banyak yang terkecoh membeli merek yang mirip merek terkenal karena nama, packaging atau tampilannya. Di Canada selama 15 tahun ada 80 kasus merek yang terganggu oleh merek semacam ini.
Survei Murray ini berlangsung di ritel-ritel dan dilakukan pada delapan produk yang paling sering dibeli seperti pasta gigi, deterjen, sabun, dan lain-lain. Hasilnya, hanya sedikit sekali konsumen yang benar-benar salah membeli. Frekuensi ini jauh sekali dari hasil yang diklaim oleh pengadilan Canada. Murray bahkan mengatakan kasus-kasus yang dibawa oleh merek-merek terkenal ke pengadilan sebenarnya hanya akal-akalan saja untuk memproteksi diri mereka dari kehadiran merek-merek baru yang berusaha masuk ke pasar mereka.
Tuntutan terhadap merek yang lumayan banyak pernah dilakukan oleh Contessa Food Product di AS terhadap 12 merek yang menjual udang dengan kemasan yang mirip-mirip produk udang yang dijual Contessa. Perusahaan ini pun mengalami perlawanan yang tidak mudah. Strategi kamuflase memang tidak mudah dihadapi oleh market leader. Mungkin hanya perasaan kurang percaya diri saja yang menyebabkan mereka takut terhadap strategi kamuflase. Padahal sudah terbukti strategi kamuflase lebih banyak dilakukan oleh merek-merek yang secara market share masih sangat kecil. Mereka juga merupakan merek-merek yang kurang percaya diri.
Blue Bird saja tidak bereaksi terhadap strategi kamuflase yang dilakukan oleh merek-merek taksi lain. Manajemen Blue Bird yakin bahwa sistem IT yang dimiliki dan kualitas pelayanan dari pengemudi Blue Bird tetap tidak akan mudah ditiru oleh pesaing. Jadi, kenapa takut? (Rahmat Susanta, Majalah Marketing Edisi November 2004)




ikan.